SELAMAT DATANG DI RHEYSHA'S BLOG.....
Popular 1:1 Traffic Exchange

Jumat, 05 April 2013

Jerawat Jomblo

Jerawat Jomblo
Oleh: Rheysha Itsuki

Pukul delapan malam @Kost-anku. Film favorit sedang diputar. Perhatianku sedang terbagi dua, tv seconds 14 inc (hasil patungan kami bertiga) dan cermin.
“Lagi ngapain bang?” tiba-tiba Pepeng duduk disebelahku seraya menekan tombol volume remote tv. Dia teman sekamarku. Sekarang ia naik kelas XI SMA. Nama aslinya sih Frangky, tapi kami lebih suka memanggilnya Pepeng. Sementara aku dan Ozy, teman sebangkuku, sudah kelas XII SMA. Kami bertiga nge-kost di tempat yang sama.
“Lagi makan nih. Huh, sudah tahu abang lagi mencet jerawat, masih nanya aja.”
“Hehehe...oooh..jerawat rupanya, hobby baru nih?Aku bantuin ya?” Ia melemparkan remote ke kursi dan mulai menghampiriku. Meneliti wajahku yang sudah kemerahan. Terlihat sekali binar di matanya. Kalau urusan mencet jerawat ia memang sangat antusias.
“Gak...gak, sana gih! Abang gak mau kayak kejadian kemarin. Bukannya malah bantuin ngilangin jerawat, eh malah jerawatnya makin meradang, makin tambah banyak.”
“Tapi gemes lihat jerawat abang, sudah banyak yang masak. Ibaratnya mangga yang siap panen.”
“Mangga...mangga...kalau mau panen mangga, sana aja ke rumah Rasty, pujaan hatimu,” Aku mulai menyeka salah satu jerawat dengan handuk yang dibasahi air hangat. Kesal juga lama-lama dibuatnya. Kesal dengan sikap Pepeng dan lebih kesal dengan jerawat yang gak hilang-hilang. Ampun deh....
“Yee..padahal kalau aku ke rumahnya, abang juga mau ikut kan? Kan ada kak...hmmm....siapa nama kakaknya Rasty bang?” Ia pura-pura mikir tapi tangannya jahil menekan jerawatku.
“AAAWWW...SAKIT TAHU!!!!”
“Hehehe....aku kan cuma nyicip dikit aja.”
Rasain...masa’ cuma jerawat aja jadi pelit. Huh...
“Gak tahu...tanya aja ma orangnya,” Aku mengusap jerawat yang dipencetnya. Rasanya minta ampun...sakit banget. Nyut-nyutan, mana tu jerawat paling montok. Aku menyikutnya pelan, berharap ia menjauh.
“Hmmm...,” Ia senyum-senyum sendiri, sesekali meliriku.
Pura-pura mikir kamu Peng. Aku harus nyiapin jurus nih. Siapa tahu ia mengincar jerawat yang lain.
“Kalau mau aneh jangan bawa-bawa abang ya, mana pakai acara senyum-senyum segala lagi. Sudah gih sana! Gangguin abang aja kamu nih,”
“Hehehe...oke-oke. Tapi aku tahu deh kenapa jerawat abang makin banyak. Pasti karena sering-sering mikirin kakaknya Rasty kan? Ngaku deh...bukannya orang jatuh cinta tu identik dengan jerawat,” katanya sok tahu, pura-pura mengacung-acungkan telunjuknya. Untung aku sigap, kalau gak? bakalan ada jerawat lain yang jadi korban.
Yeee...nggak kena
“Sok  tahu kamu? Siapa juga yang mikirin Risha?” Aku pura-pura sewot. Padahal saat nama itu ku sebut, perlahan-lahan dadaku berdesir indah. Seperti film bollywood yang ku tonton. Loh, kok pemeran utamanya berubah. Adegan lagi di taman bunga. Tiba-tiba aku jadi Shah Rukh Khan dan Risha jadi Kajol-nya (lebay banget). Aih...aih...mikirin dalam khayalan aja sudah senang, apalgi beneran. Aku mesem-mesem sendiri. Lupa dengan jerawat yang sedang nyut-nyutan.
Ssst...tahu gak aku aja gak pernah bertemu secara langsung dengan Risha sebelumnya, apalagi bicara face to face. Aku hanya melihat fotonya dirumahnya ketika aku bersama Frangky bertamu. Selebihnya hanya melalui hp karena Risha tidak satu sekolah dengan kami. Hanya dua minggu sekali baru pulang ke rumah karena ia tinggal di asrama. Dia seangkatan denganku. Mungkin ini tandanya cinta pada pandangan pertama. Tapi perasaan ini kucoba tutupi. Yang tahu hanya Pepeng dan Ozy.
“Tuh buktinya! katanya gak tahu namanya siapa. Iiihhh...mana pakai acara senyum-senyum segala. Ckckckck...ternyata benar. Cinta kadang membuat orang bisa lupa diri, senyum-senyum sendiri bahkan nyaris gila, Hahahaha...”
Buyar deh adegan taman bunganya. Benar juga kata Pepeng. Tapi apa benar aku jatuh cinta...ups...salah ding bangun cinta ma Risha. Agak kurang sreg aja dengar kata jatuh sebelum kata cinta. Kayaknya sakit plus menderita benar karena cinta. Hiks...hiks...
“Pokoknya selama jerawat abang belum hilang dan wajah belum kinclong. Abang  gak akan cari cewek. Abang akan menjadi jomblo.”
“Serius bang???” baru kali ini aku melihat ia begitu menaggapi perkataanku.
“Duariusss...seriuslah Peng.”
“Bahkan sampai mencoba mengambil hati Kak Risha abangpun gak mau?”
Lah, kok dadaku jadi sakit begini ya. Apa iya aku akan jomblo terus? Iya kalau jerawatnya hilang,nah, kalau gak? Duh..dilema jadinya. Tapi mau narik perkataan lagi, sudah terlanjur. Ya sudahlah...lihat saja nanti.
***
“Kalau saja di sekolah ada lomba siapa yang wajahnya paling banyak jerawat? Pasti pemenangnya aku Zy? Aku bosan dibilang jomblo gara-gara jerawat,” kataku waktu itu sambil memakan mie ayam. Ini curhat pertama ku pada Ozy setelah uring-uringan diledekin Rio and the Gank.
“Kamu yakin? Wajahmu kan gak parah-parah amat kok,” ia menghentikan suapannya seraya memeriksa wajahku.
“Kamu gak lihat jerawatku besar-besar nih, mirip bisul,” aku menunjuk jerawat terbesarku.
“Jangan gitu dunk Di. Belum tentu gak ada cewek yang gak suka sama kamu. Kamu kan orangnya pintar dan baik hati. Aku yakin pasti ada kok.”
“Tapi...”
“Kalau kamu gak percaya coba cara ini untuk membuktikannya. Jadi, belum tentu apa yang kamu pikirkan itu benar.”
“Maksud kamu?”
Ozy menghentikan suapannya. Meminum es teh dan mulai mendekat ke arahku dan membisikan sesuatu.
“Bagaimana? Baguskan?”
“Hmmm....oke, aku coba deh.”
Sebenarnya aku gak mau ambil pusing sih, tapi setelah mengikuti saran Ozy, pikiranku mulai berubah. Gak ada salahnya kan mencoba misi ini. Dia bilang jangan minder dan pesimis dulu dengan wajah berjerawat. Selama dua bulan dia nyaranin mencari teman-teman, kakak dan adik tingkat yang wajahnya banyak jerawat tapi harus diam-diam. Nah, kalau dalam waktu dua bulan ada yang lebih parah dari wajahku, berarti aku gak masuk nominasi wajah terbanyak jerawatnya. Aku tersenyum-senyum sendiri memikirkan ide kurang kerjaan ini.
Namun apa daya lewat dua bulan menjadi detektif pencari jerawat ke setiap kelas, aku gagal. Jarang sekali aku menemukan wajah mereka separahku. Ada sih yang waktu itu satu minggu jerawatnya banyak, aku sempat bersyukur merasa masih ada yang lebih parah dariku. Eh, setelah dua minggu wajahnya malah lebih bersih, jerawatnya juga hilang. Setelah diinterview ternyata dia meminum obat jerawat dan gak tanggung-tanggung harganya ratusan ribu. Weleh...weleh..mana cukup uangku untuk membelinya, uang bulanan saja pas-pasan belum lagi aku anti minum obat. Misi pun tak kulanjutkan. Nambah sakit hati plus frustasi. Belum lagi jerawat makin tambah banyak. Aku jadi malas mau mengurus wajahku. Sudah terlanjur kecewa berat.  Sempat  kutemukan kekecewaan di wajah Ozy ketika misi ini gagal. Tapi ia berusaha menyabarkanku. Masih ada cara lain, katanya.
***
Libur telah tiba, meski cuma satu hari. Tapi senangnya bukan kepalang. I’m Free today. Teman-teman di kost-an masih belum kelihatan akan keluar. Libur seperti ini biasanya mereka isi dengan mencuci baju, mencuci motor, bahkan ada yang masih tidur. Padahal aku mau mengajak mereka pergi. Tiba-tiba muncul sosok tak asing bin jahil. Tergesa-gesa ia menghampiriku seraya menunjukan hpnya.
“Bang kita ke rumah Rasty yuk sekarang?”
“Mau ngapain Peng? Abang mau bersihin motor nih,” aku menyemprotkan air ke ban. Lumayan kotor setelah ku pakai 6 hari ke sekolah. Dengan kondisi tanah yang mirip saus kacang. Sekarang kan lagi musim hujan.
“Kak Risha ada sms. Dia sudah di rumah. Kemarin datangnya. Ayo dunk bang! sekalian aku mau ketemu Rasty.”
“Kamu aja deh ya yang pergi. Abang belum siap, mana jerawat abang makin banyak” Aku mematut wajahku di kaca spion. Menghitung berapa banyak jerawatku yang bertengger. Aku harap mereka segera menyingkir dan musnah. Masih aja gak pe de.
Hehehe....abang kira aku gak bisa bawa abang kesana? Jangan panggil aku Frangky kalau aku gak punya seribu cara. Ho...ho...ho....
***
Semenjak pulang dari rumah Risha entah mengapa perasaan ini bergulir indah. Menembus batas-batas kewarasanku. Sampai membuatku bermimpi. Kami memang jarang berbicara panjang lebar, meskipun begitu kecanggihan teknologi ku manfaatkan. Sms pun dengan lancarnya melesat antara hpku dan hp Risha. Risha memang tipe yang pendiam ketika kami bertemu. Kalau tertawa tak pernah ia menampakan lebar-lebar giginya. Hanya tersenyum, didiringi dua buah lesung pipinya. Sikapnya sopan, tak pernah ku temukan kegenitan padanya, berbeda dengan gadis-gadis lain yang pernah kutemui. Memang ia gak cantik-cantik amat. Tapi ia punya pesona tersendiri. Itu menurutku. Ia jarang menatapku, pandangannya gak jauh-jauh dari lantai atau melihat ke arah yang lain.
Entah kenapa? Atau mungkin ia takut menatap wajahku yang seperti bulan purnama, penuh kawah. Atau...entahlah aku takut terlalu berandai-andai. Tapi ketika dia sms, aku sering tertawa geli. Ia humoris. Dan ini yang membuatku semakin penasaran dengan sosoknya yang lumayan misterius.
“Zy, malam ini kita ke rumah kak Rasty yuk? tadi siang kakak bilang ada bikin kue dan kita disuruh nyicipinnya,”
Pepeng tiba-tiba memecah kebisuan diantara kami. Padahal ibu kost belum selesai bicara mengenai dapur yang berantakan. Ozy membisu, sesekali ia melirik ibu kost kami yang masih menatap garang .
Peng..peng...kamu cari gara-gara aja...
Aku dan teman-teman sedang tak berani bersuara. Apalagi sebelum membicarakan masalah dapur,  kami sempat dimarahi habis-habisan oleh ibu kost. Beberapa orang diantara kami masih menunggak membayar sewa kost, belum lagi kost yang mulai kotor. Imbasnya tentunya kesemua anak kost. Kalau sudah begini, anak lantai satu dan dua saling menyalahkan. Ujung-ujungnya hampir berkelahi. Pepeng cepat-cepat menutup mulutnya, apalagi setelah melihat mata ibu kost kami yang melotot ke arahnya.
“Ini ni..anak jaman sekarang. Orang tua ngasi nasehat bukannya didengerin malah ngobrol sendiri?”
“Maaf Bu,” Pepeng tertunduk.
***
“Sebenarnya ada sesuatu yang mau Risha berikan untuk abang?”
“Kayak kejutan aja nih Sha, kamu mau ngasi apa?”
“Sha, ”panggilan sayangku untuk Risha. Padahal belum pernah sekalipun aku nembak dia. Ngaku-ngaku aja. Toh, dianya aja gak keberatan dengan panggilan itu. Ia tertunduk malu. Sebuah kotak kecil dengan bungkus kado berwarna orange, warna kesukaanku. Ya Allah mimpi apa aku semalam. Di hari lahirku ternyata ada juga yang ingat plus ngasi kado. Alhamdulillah.
“Apa ini? Gak usah repot-repot Sha, ” aku pura-pura menggaruk jerawatku. Padahal di dalam hati menebak.benda apakah gerangan di dalamnya. Dari bungkusnya kayaknya nih hadiah pasti gede.
“Abang buka aja deh..,” wajah putihnya bersemu merah. Ia masih tertunduk.
“Hmmm...baiklah, abang mau lihat kejutan apa yang Sha berikan,” tanganku gak sabar membuka kado itu. Step pertama masih lancar. Tapi step selanjutnya? Ampun dah nih kado apa kado sih? Banyak banget kotak di dalamnya. Kotak di dalam kotak. Nafasku semakin memburu, padahal hampir ngos-ngosan juga membuka nih kotak. Hmmm...seperti kataku dulu, wanita penuh misteri dan membuat penasaran. Saking penasarnnya aku gak melihat ekspresi dia yang aneh bin ngeri melihatku merobek-robek bungkusan kado tanpa ampun.
Nih orang girang apa kesambet ya? Sampai segitunya. Padahal kalau ia tahu hadiahnya, bakalan marah gak ya sama aku.
Dan akhirnya....
“Apaan nih?” aku mengamati benda kecil ditanganku. Bentuknya kecil seperti botol salep transparan. Aku membuka tutupnya. Isinya berwarna putih.
Week...hufh....kaya’ bau obat nih barang.
“Aa...aa..Abang gak suka ya hadiahnya? Sudah terbukti manjur bang, dulu Risha juga pakai kok” barulah ia menatapku, wajahnya sendu. Mungkin karena melihat ekspresi ku yang berlebihan tadi.
“Ehmmm....suka kok, abang suka banget. Tapi kalau abang boleh tahu, nih apaan ya? Kok kayak bau obat sih Sha?”
“Memang itu obat bang...”
“O..obat, obat apa?. Apa obat untuk memutihkan badan atau obat untuk...” asal aja aku bertanya sambil meneliti botolnya.
Mudah-mudahan dia gak bilang kalau ini obat untuk itu ya Allah...aku mohon jangan...
Risha terdiam. Tanganya tak henti meremas ujung bajunya. Aku pun semakin penasaran.
Waduh...kayaknya bener nih obat untuk itu. Tapi gak ding, aku yakin pasti gak...tapi kalau ya?...
“Maaf bang, tapi abang gak marah kan kalau Sha bilang itu obat jerawat.
Prakkkkk....pikiranku retak. Tuh kan benar...gak bisa nih.
Dan egonku pun berbicara.
“Ngapain kamu ngasi abang obat beginian. Apa kamu pikir wajah abang jelek banget karena jerawat. Oh, pantesan kamu kalau lihat abang gak pernah lama-lama, ya kan?”
Hiii....ternyata kalau marah galak juga nih abang. Padahal orangnya manis. Ups....duh...mau ngomong apa nih? Dia kok bawa-bawa jelek segala sih.
“Nih ambil! Abang gak butuh ini. Terima kasih atas kadonya,” aku segera pergi.
Gak nyangka bakalan kayak gini. Risha yang ku sayang ternyata...
“Abang tunggu bang...!”
Aku gak peduli...biarin...teriak aja sampai kering.
“Bang...tunggu dulu bang...Risha mau jelasin semuanya,”
Hmm...Tapi, kasihan juga nih anak. Apa perlu aku berhenti dan mendengarkannya? Bodo amat..harga diriku sudah pergi nih. Gak bisa...berhenti-gak-berhenti-gak-berhenti.. Ah, kasihan dia.
Wajah Risha memerah, nafasnya tersengal. Setengah berlari mengejarku.
“Maafin Sha bang, Sha gak tahu kalau jadinya begini. Tapi benar bang Sha gak ada maksud untuk nyakitin hati abang,” aku masih diam.
“Risha ngelakuin ini karena...ehmm...karena Sha...”
Penasaran juga nih.
“Karena apa?’
“Karena...ehmm...karena Sha gak mau bang Dion jadi jomblo selama gak berhasil ngilangin jerawat.
Deg....akhirnya...
Di belakang pohon aku melihat Pepeng dan Ozy cekikikan mengintip kami. Pasti ulah mereka pikirku. Siapa lagi orang yang membocorkan rahasia kalau aku akan jadi jomblo sebelum jerawat gak hilang. Gak apa-apalah aku malah bersyukur mempunyai teman seperti mereka.
***
Satu bulan berlalu. Wajahku sudah mulai bersih dari jerawat. Manjur juga sarannya Risha. Karena kebaikan mereka  waktu itu, sore ini aku mentraktir mereka mie ayam.
“Hmm...Sha, boleh abang tahu kenapa Sha memberikan abang obat itu sebulan lalu”.
Kulihat kepanikan diwajahnya. Ia menggigit bibir.
“K..kaa..Kan Sha bilang, Sha gak mau abang jadi jomblo sebelum jerawatnya hilang. Abang kan orangnya baik dan pintar,” Ia buru-buru meminum es jeruk sepertinya menutupi kegugupannya.
“Oh, hanya itu?” pancingku.
Ia mengangguk cepat. Di depan kami Ozy dan Pepeng dengan lahap menghabiskan mie ayam. Sepertinya tak berminat dengan pembicaraan kami.
Mereka sahabat terbaikku.
Semakin hari aku merasa semakin akrab saja dengan Risha? Apakah perasaan ini sama dengan yang ia rasakan? Setelah dekat dengan Risha aku banyak mengambil pelajaran. Ia sering bercerita dulunya wajahnya seperti diriku, bahkan lebih parah dan sering diejek teman-temannya. Tapi ia selalu optimis mencari solusi. Karena gak ada orang yang gak bisa berubah, kecuali karena kemalasan. Risha mencari tahu dengan konsultasi ke dokter kulit. Meski diberikan obat, dia juga tidak lupa mengkonsumsi makanan sehat, rajin membersihkan wajah dan berolahraga. Jika gak ada perubahan berarti itu anugerah dan patut disyukuri. Wajah juga gak menjamin kebaikan hati seseorang. Ia dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu, tetapi tidak dengan hati. Jadi, kalau masih ada yang minder karena jerawat di wajah dan takut menjadi jomblo, ya jangan sedih dulu, katanya. Justru harus dibuktikan bahwa jerawat dan jomblo gak menghalangi kita berprestasi. To be High Quality Jomblo.
***


Bumi Uncak Kapuas, 08 September 2011
                                                                                    Pukul 10:42 WIB