SELAMAT DATANG DI RHEYSHA'S BLOG.....
Popular 1:1 Traffic Exchange

Senin, 22 Desember 2008

Memories Of...


Memories Of...

Kepompong (House of Cocon)

Tak mudah memang untuk melupakan seseorang. Apalagi hari-hari yang dilalui selalu bersamanya. Sejak berumur 4 tahun hingga beranjak remaja, ia selalu mengisi kisah hidupku. Ada tawa, canda, suka dan duka telah kami lewati bersama, meski pertengkaran kecil selalu membumbuinya. Aku tak habis pikir kenapa bayangannya selalu menghantuiku hingga saat ini. Meski bayangan itu sudah jauh-jauh kubuang dari pandangan dan hatiku, aku tidak dapat melupakanya. Rhey begitu aku menyebutnya, laki-laki yang telah lama menjadi sahabatku. Saat kubersedih maupun aku bahagia ia selalu ada untukku. Candanya yang renyah telah meluluhkan hatiku ketika suatu saat aku bertengkar denganya. Padahal aku tipe orang yang lama untuk memaafkan orang. Entah kenapa ada-ada saja akalnya sehingga membuatku tak marah padanya.

Aku masih ingat ketika suatu hari aku marah besar padanya ketika ia membuang kotak pensil kesayanganku ke ember yang berisi air kotor. Waktu itu kami masih duduk di kelas dua SMA. Kotak pensil itu adalah hadiah ulang tahun dari temanku dan aku sangat menjaganya. Mungkin maksudnya tidak ingin membuangnya, awalnya hanya bercanda saja. Tapi bagiku hal itu justru membuatku marah.

”Jangan lagi berteman dengaku, cari saja teman yang lain. Kenapa sih suka sekali membuang barang orang lain, coba tas kesayanganmu kubuang. Mau nggak???. AKU BENCI KAMU!!!..PERGI SANA!!!.” teriakku di depan teman-teman sekelas.

Aku tidak memikirkan pandangan heran teman-teman terhadap kami. Mungkin dalam hati mereka tidak sepertinya kami berdua bertengkar sehebat ini.

Sebenarnya aku tidak ingin marah, mungkin karena waktu itu aku sedang sensitif. Cewek kan punya masa-masa sensitif dalam sebulan. Kulihat wajahnya memerah, sama merahnya dengan wajahku yang marah. Aku kira ia akan membalas perkataanku, biasanya ia tidak mau kalah denganku ketika kami beradu mulut. Ternyata tidak. Tak sepatah kata pun yang ia lontarkan padaku. Ia diam kemudian beranjak pergi. Entah kemana. Aku duduk di bangku kelas dengan tatapan kosong. Ada rasa menyesal yang kurasakan.

” Kenapa hanya gara-gara hal kecil aku harus marah padanya?. Toh hanya karena kotak pensil saja aku berbuat seperti tadi. Duh... bodohnya aku. Rhey nggak sepenuhnya salah, aku yang terlalu berlebihan. Aku harus minta maaf padanya” bisikku seraya meraih tasku.

” Rhey!!!.....” aku berteriak sambil berlari mencarinya ke luar kelas.

Pikiranku harus mencarinya dan meminta maaf dengan segera. Aku tidak perduli pelajaran selanjutnya akan dimulai. Aku terus berlari kecil mencarinya. Tujuan pertamaku adalah di kantin sekolah, salah satu tempat favorit kami setelah DPRS (dibawah pohon rindang sekolah). Dugaanku tak salah . Dari kejauhan aku melihat sesosok tubuh yang kukenal. Ia duduk di sudut kantin sambil menundukkan kepala. Tidak ada siswa lain disana selain ia dan penjaga kantin tentunya. Sesekali kulihat tubuhnya tergunjang pelan seperti orang yang sedang menangis.

Jangan-jangan ia menangis, tapi..apa mungkin seorang Rhey dengan mudahnya menangis? Padahal saat ia terkena bogem mentah dari Dodi saat berkelahi satu minggu yang lalu, dengan mudahnya ia mengatakan tidak kenapa-kenapa. Kalau ku ukur dengan cermat tubuh Dodi tentunya lebih besar atau bisa tergolong kekar dibandingkan dengan tubuhnya yang lumayan dari iklan minuman penyubur tubuh. Sudah pastinya tenaga Dodi juga besar.

” Ah masa’ bodoh aku harus kesana dan minta maaf. Tapi...”.

” Rhey...” panggilku pelan ketika sampai di kantin.

” Rhey... maafin aku ya. ?” tapi ia tidak menghiraukanku. Ia masih seperti posisi semula. Tertunduk diam.

” Rhey... tolong maafin aku. Aku tahu tadi aku keterlaluan marahin kamu. Jangan diam terus dong Rhey. Ngomong dong???”. Aku mengguncang tubuhnya dengan tas yang ku bawa agar mendengarkanku.

” Apaan sih Sha?, lagi seru nih” Rhey masih tertunduk

” Kamu ini aku panggil-panggil nggak digubris, memangnya kamu lagi ngapain sih. Rhey...” kali ini aku mengguncang lengannya.

Tiba- tiba sebuah handphone terlepas dari tangannya dan dengan sigap kutanggap.

” Tuh kan untung HPku nggak kenapa-kenapa. Ada apa sih Sha?, mau marahin aku lagi ya. Ya udah sini aku ladenin?”

” Oh...rupanya kamu main HP ya, aku itu sampai takut kalau kamu menangis. Eh nggak tahunya malah..., ih nyebelin banget sih kamu. Percuma dong kalau aku kesini”

Rhey tertawa mendengar perkataanku. Kemudian ia mengajakku keluar kantin dan menuju lapangan basket.

” Aduh Sha, kamu ini nggak tahu aku aja. Masak seorang Rhey dengan mudahnya menangis. Cckkk...Tapi tadi kamu mau ngomong apa? Aku dengar-dengar kamu mau minta maaf sama aku ya, aku dengerin deh sekarang?”

” Siapa yang mau minta maaf sama kamu?” jawabku sekenanya.

” Jangan bohong deh, aku tadi dengar kok kamu ngomong apa”

” Apaan sih, aku bilang enggak ya enggak ”. bohongku.

” Aku itu mau ngajak kamu untuk masuk kelas. Kamu lupa ya kalau pelajaran selanjutnya ada ulangan harian sejarah.” padahal aku baru saja ingat kalau pelajaran selanjutnya ada ulangan.

” Haaaa... yang benar Sha, aku lupa. Aduh gawat ni... Kita sudah ketinggalan setengah jam. Cepetan dong Sha!” Rhey mengajakku pergi.
Tapi baru saja kami melangkah Bu Jenny sudah ada dihadapan kami.

” Kalian ini dari mana saja?, kenapa nggak masuk kelas???” marahnya.

Duh lumayan panas dingin juga menghadapi guru yang satu ini, selain killer Bu Jenny terkenal tidak kenal ampun terhadap siswa yang tidak taat pada peraturan sekolah. Maklum saja Bu Jenny adalah kepala sekolah kami.

” Saya berdua mau masuk kelas kok bu, ya kan Sha?” . Aku menganggukan kepala tanda setuju.

” Kamu jangan ikut-ikutan dia Risha, kenapa kamu sampai bawa-bawa tas segala, mau bolos ya? Ibu kan sudah bilang beberapa kali jangan bergaul dengan anak nakal ini. Kamu itu murid baik atau kamu mau Ibu adukan dengan orang tuamu.

” Sekarang Ibu mau kalian bersihkan lapangan ini dari sampah, dan jangan banyak alasan lagi, cepetan!!!”

Badanku terasa lemas. Aku membayangkan membersihkan lapangan ini ditengah terik matahari. Selain itu aku sudah dua hari yang lalu mempersiapkan untuk ulangan hari ini. Ternyata...Hmfm... nggak ada yang perlu disesali semuanya sudah terjadi, pikirku. Toh aku nggak sendiri kan Rhey juga bantuin aku.

” Maafin aku ya Sha, gara-gara aku kamu ikut-ikutan bersihkan sampah”.

” Nggak apa-apa kok Rhey. Kamu kan sahabat aku, mana mungkin aku mau ninggalin kamu membersihkan lapangan sendirian”

Rhey tersenyum padaku dan kami pun mulai membersihkan lapangan.

Cuap-cuapku:
Waktu itu aku nggak tega melihat Rhey dimarahin sama Bu Jenny. Bagiku apa pun yang terjadi padanya aku harus bisa merasakanya. Karena bagiku persahabatan adalah segalanya. Perkataan Bu Jenny ada benarnya, Rhey bukanlah murid yang baik di sekolah. Beberapa kali ia pernah masuk blacknote sekolah karena berkelahi. Tapi Rhey sebenarnya orang yang baik dan ia rela membelaku dan melindungiku. Bersamanya aku merasa aman. Itu yang membuatku bersahabat denganya. Kami saling menerima sifat masing-masing. Aku, Risha yang nggak percaya diri, Risha yang selalu menjadi ejekan teman-teman dan Risha yang nggak pernah bisa melawan jika disakiti. Dan Rhey sosoknya yang tangguh, pemberani serta rela melakukan apa saja untukku. Rhey kamu memang sahabat terbaikku dan aku bangga menjadi sahabatmu.


***


Ulat
(Prodenia litura F)

Udara pagi itu terasa dingin diselingi dengan kabut tipis. Wangi mawar dan melati berpadu di sekelilingku. Kampus masih sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang duduk di taman kampus sambil membaca diktat dan sesekali merapkan jaket mereka. Dingin. Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi tapi bagiku hari ini seperti pukul enam pagi. Bagiku suasana hari ini begitu indah. Aku menuju sebuah bangku dan duduk dibawah pohon akasia sambil merapikan laporan praktikumku. Sesekali aku menepis bunga akasia yang jatuh dipangkuanku. Angin berhembus perlahan, menerbangkan bagian belakang jilbab putihku. Degh, tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Tak sengaja aku melihat sesosok tubuh yang kukenal. Yah..dia adalah Tian, mahasiswa kimia tingkat tiga.

“ Tumben dia datang pagi sekali? Biasanya hampir pukul setengah delapan dia datang kekampus” pikirku tapi mata ini tak terlepas dari sosoknya yang mulai mendekat.

“ Astagfirullah hallazim...Ya Allah tolong aku jangan sampai ia melihat kemari!” bisikku perlahan.

Tian melewatiku dengan santainya tanpa menolehku. Biasanya jika bertemu ia sering menyapaku. Sepertinya hari ia tergesa-gesa. Aku melirik tumpukan laporan ditangannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada hatiku ini. Entah dari mana rasa ini datang. Apakah semenjak peristiwa waktu itu?. Peristiwa dimana pertama kali aku mengenal Tian. Ku harap rasa ini tidak menguasaiku lagi.

***

“ Semuanya kumpul dilapangan!!!. Kakak hitung sampai tiga”.

“Satu!!!...”

“Dua!!!...”

“Tiga!!!...”

“ Sekarang nggak ada lagi yang sibuk dengan barisannya. Yang telat dan nggak punya barisan buat barisan baru!!! ” perintah salah satu panitia ospek.
Suasana hening seketika. Tidak ada yang berani bersuara. Suara kakak panitia tadi telah membuat kami tak berkutik. Takut sekaligus segan.

“ Oke. Sekarang kakak minta kalian untuk menghapal nama teman satu kelompok kalian. Jika perlu tanggal lahir dan hobbinya. Minggu depan harus sudah hapal. Kalau nggak, kalian akan dapat hukuman dari kakak. Ngerti nggak?”

“ Ngerti kak!!!...” jawab kami serentak.

Hmf...apakah setiap tahun fakultas ini menerapkan ospeknya seperti ini. Mengumpulkan mahasiswa baru di tengah terik matahari yang bisa saja membuat sebagian mahasiswa baru pingsan. Lalu mendengarkan bentakkan sebagian panitia yang sebenarnya hanya ikut andil pada bagian stressing saja. Sementara pada acara materi mereka menghilang. Mahasiswa baru harus patuh dengan perkataan mereka, tidak boleh sama sekali melawan. Selama kegiatan harus serius dan banyak peraturan lain yang diterapkan untuk kami.

Aku teringat akan Rhey. Apakah ia sama sepertiku? mengikuti ospek di kampusnya. Kami berdua memang tidak mengambil kampus yang sama karena minat yang berbeda. Rhey mengambil universitas swasta prodi keperawatan, sedangkan aku mengambil universitas negeri prodi fisika. Meski begitu komunikasi kami masih selancar waktu SMA dulu.

“ Aku lulus di Sha, asyik aku bisa jadi perawat ” katanya setelah beberapa bulan kelulusan SMA kami”.

Aku turut senang mendengar kabar itu. Bagaimanapun juga aku harus mendukung sahabatku untuk maju dan menggapai cita-citanya. Apalagi Rhey mengambil itu karena ingin lebih sabar lagi menghadapi orang-orang. Menjadi perawat perlu kesabaran ekstra unggkapnya. Aku sendiri mengambil fisika karena aku pernah merasa jengkel dengan mata pelajaran fisika sewaktu kelas dua SMA dulu. Gara-gara hanya nilai fisika yang rendah diraport aku harus kalah peringkat dengan Rhey. Kelas tiga aku tidak ingin kalah dari Rhey dan itu berhasil kubuktikan. Aku mendapat peringkat diatas Rheys hingga lulus SMA. Sebuah tepukan halus menyadarkanku.

“ Melamun ya dek?, nggak lihat temanya pada sibuk tuh” tegur ketua BEM kami.

Waduh gawat, pikirku. Kalau sampai lengah sedikit saja ketua BEM ini pastinya marah besar. Aku buru-buru menghapal satu-persatu nama teman dalam satu kelompok. Susah juga sih, apalagi dalam kelompok kami anggotanya berjumlah dua puluhan. Tapi Andi, ketua kelompok kami nggak kehabisan akal. Andi mulai mendata satu persatu nama anggotanya paada sebuah kertas. Kertas ini nantinya akan dibagikan kesetiap anggota untuk panduan apabila mereka lupa nama teman yang lain. Aku mulai menghapal nama temanku. Pertama kali aku mulai dengan salah satu mahasiswa prodi kimia. Namanya Tian Januardi. Aku sempat hampir tertawa melihatnya. Mahasiswa satu ini berkaca mata, culun, pendiam gugup. Lumayan susah mengajaknya pertama kali kenalan. Tapi akhirnya aku bisa juga mengajaknya berkenalan. Menanyakan tempat tinggal dan beberapa hal lain yang kuanggap penting untuk di ingat. Kemudian berpindah ke teman yang lainya.

“ Tian Januardi atau Tian Hendriansyah?” tanyaku pada salah satu mahasiswa.

“ Tian Hendriansyah” jawabnya sambil tersenyum.

“ Maaf aku bingung, habis di kelompok kita ada dua nama Tian trus dua-duanya dari jurusan kimia. Maaf ya”

“ Nggak apa-apa kok. Kamu dari jurusan Fisika ya, nama kamu Risha kan?

“ Ternyata kamu cepat ingat ya nggak kayak aku, aku cepat lupa”

“ Biasa aja lagi Sha, aku itu ingat ciri-ciri kamu aja. Kan hanya kamu mahasiswi baru Fisika yang kulitnya paling putih trus ada lesung pipinya lagi”

Agak tersanjung juga sih di katakan seperti itu. Hee.. mudah-mudahan aku nggak gede rasa. Aku tersenyum merespon perkataanya. Aku sadar kalau perkataanya telah membuatku berpikir bahwa kenapa ia mudah mengingatku dengan ciri yang seharusnya tidak boleh kunampakan. Tapi itu dulu sewaktu aku belum tahu apa arti penting dari sebuah aurat dan sebelum aku mengenakan jilbab. Aurat yang seharusnya tak ku tampakkan pada orang lain.

***

“ Maaf ya Sha nggak bisa bareng, aku sama Yuni nih”.

“ Nggak apa-apa kok En, aku jalan kaki aja. Dekat kok..”.

“Cuacanya panas nih, gimana ya?..atau kamu tunggu disini sebentar, nanti ada teman aku yang bisa bareng kamu”.

“Tapi En...”.

Brum...brum..., tiba- tiba seorang laki-laki mengendarai motor menuju ke arahku. Ia memakai baju koko krem, menambah tampan wajahnya, wajah yang sangat berbeda dari laki-laki yang pernah ku lihat. Astagfirullah...seandainya saja tidak segera ku tepis rasa kagum itu mungkin akan mengotori hatiku.

“ Tian kamu sama Rhisa ya!!, kasihan membiarkan dia berjalan di siang hari begini. Kamu juga gak boncengan sama siapa-sipa kan?”

“Nggak, aku nggak sama siapa-siapa.. Ayo Sha naik aja!...”

“Ok. kalau begitu aku sama Yuni duluan ya...Dagh....”

Endah dan Yuni berlalu. Pergi. Meninggalkan aku dan laki-laki yang sepertinya pernah ku kenal. Tapi aku lupa dimana pernah mengenalnya.

“Ayo Sha..nanti acaranya sudah dimulai loh”

“Maaf ya merepotkan...” kataku pelan.

“Nggak apa-apa kok, kita kan teman jangan sungkan denganku”

Motor melaju pelan membawa aku dan laki-laki ini. Entah apa yang ada dalam benakku. Sebuah perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumya. Padahal sewaktu SMA dulu, aku dan Rhey juga pernah boncengan. Tapi aku tidak merasakan apa-apa.

“ Terima kasih kak atas bantuanya, maaf telah merepotkan”

“Nggak apa-apa kok Sha, loh kok manggil kakak? Kita kan masih satu angkatan.”

“Satu angkatan???”

“Iya, malahan kamu satu kelompok ospek denganku. Lupa ya?”

“Pantas saja aku merasa pernah melihat wajah kamu. Tapi aku lupa dimana?.Sebentar...aku ingat-ingat nama kamu dulu, kalau nggak salah nama kamu Tian, mahasiswa kimia?.”

“Yups...betul. Oke deh kita masuk yuk acaranya sudah mau dimulai”.

***

Cuap-cuapku: Semenjak saat itu aku tidak pernah melupakan namanya. Bahkan secara tidak sengaja aku mendapatkan biodata lengkapnya. Aku nggak ingat persis kapan kejadiannya. Tapi pastinya pada semester satu. Tapi yang kuingat kami bertemu di depan masjid Universitasku. Pada waktu itu asa kegiatan keagamaan. Aku menegenakan gamis hijau plus jilbab putih dan dia mengenakan baju koko berwarna krem. Mungkin semenjak saat itu rasa ini mulai tumbuh. Tapi aku berusaha agar rasa ini tidak menguasaiku. Rasa yang tumbuh sebelum aku mengenal manisnya hijab dan indahnya berjilbab.

***

Metamorfosis

Tak terasa sudah dua tahun aku kuliah. Kali ini aku memasuki semester lima di fakultas MIPA. Ada rasa yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Teman yang banyak, ikut organisasi dan merasa diri harus bersikap dewasa. Tak aral lagi, kini aku pun di panggil kakak tingkat oleh adik tingkatku. Namun, ada satu yang tak berubah dari diriku. Rasa itu tetap ada untuk Tian Hendriansyah. Meski aku harus memendamnya selama dua setengah tahun ini. Dalam tiap sujud dan doaku aku selalu berharap Allah tetap menjaga kesucian diri dan hatiku. Menghalau bayangan Tian yang menghantuiku, melupakan wajah Tian yang akan hinggap di mimpiku dan membantuku untuk menutup mata ini tak kala Tian menatapku.
Tak lupa doaku yang utama untuk ibu dan Riani, adikku di kampung halaman. Tak tega rasanya hati ini jika sampai mengecewakan ibu. Wajah yang penuh gurat lelah dan tubuh yang kian dimakan usia. Demi masa depan anaknya ia rela setiap hari mencari nafkah untuk aku dan adikku. Kami hanya hidup sederhana dengan mengharapkan penghasilan ibu dengan membuka rumah makan dan pensiunan ayah yang tidak seberapa besar. Pernah terdengar selentingan dari teman-teman ibu untuk mencari pendamping hidup.

“Memang kamu nggak kepingin menikah lagi Ti? kasihan anak-anak kamu, mereka masih perlu sosok ayah. Apalagi usia kamu juga masih muda. Jadi mau menunggu apalagi?”

“Aku bukanya menolak jodoh dari Allah, tapi karena aku memikirkan anak-anakku. Apakah nanti aku bisa memberikan mereka ayah yang baik seperti almarhum suamiku. Selama aku masih mampu menghidupi dan menjaga mereka, Insyallah mereka juga tidak akan kurang kasih sayang orang tua”.

Subhanallah...kata-kata ibu itu selalu terngiang ditelingaku. Aku berniat dalam hati aku akan berusaha untuk tidak membuatnya kecewa dan bersedih. Aku harus menjadi anak yang berhasil dan membanggakannya. Thanks mom... Love You and You Are My Best Parent in My Life. The Wonder Women.

Aku menangis sebelum tidur melihat wajah ibu yang terbalut lelah dengan nyeyaknya terlelap.

“ Ya Allah...betapa besarnya nikmat yang Engkau berikan padaku. Ibu yang penuh kasih sayang dan tanggung jawab serta adik yang membanggakanku. Aku mensyukuri hidup yang Engkau berikan, meski tak seperti orang lain yang penuh kemewahan. Tapi ada sebuah kenikmatan yang kurasa. Kenikmatan dari qan’ah yang sering diajarkan oleh ibu”.

“ Ya Allah... ampuni dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangi aku nsejak kecil. Berilah ibu usia yang panjang hingga dapat melihatku menjadi orang yang berhasil. Ampuni segala kelalaiannya padaMu. Demi aku dan adikku mungkin saja ibu melalaikan ibadahnya padaMu. Amin ya rabbal alamin...”.

***

Awam berarak pelan, angin pun berhembus sepoi-sepoi kontras sekali dengan terik mentari siang itu. Sangat panas. Pohon akasia kembali melambai tertiup angin. Bau bunganya yang khas menusuk hidungku. Sesekali ku hirup udara segar. Humf... ada kelegaan yang kurasa setelah berjam-jam berkutat dengan buku dan perkuliahan.
Sebenarnya sikap dosen dan materi yang diberikan menarik minatku dan teman-teman di kelas. Sepintas tak ada yang menyangka kalau kami merasa bosan. Tapi kebosanan itu datang dari ruangan yang sumpek, fasilitas yang tidak memadai dan ruangan yang digunakan hanya ruangan itu-itu saja. Berbeda dengan prodi lain. Mereka diberikan ruangan yang luas, bersih serta menggunakan AC. Sungguh berbeda dengan prodiku jangankan AC kipas angin pun tak tersedia. Aku terkadang tertawa geli mendengar plesetan teman-teman dikelas jika suasana siang hari. Bau keringat yang terkontaminasi suhu tinggi sehingga menghasilkan bau aneh. Menambah kesumpakan yang ada. Belum lagi di tambah teman-teman wanitaku yang suka memakai parfum di siang hari. Suasana yang khas.

“Tidak apa-apa kita tidak punya kipas angin dan ruangan bagus, tapi kita masih punya AC loh. Angin Cepoi-cepoi dari jendelah kan. Haaaa...Haaa..” kata Dio ketua angkatan kami seraya menggerak-gerakkan kerah baju. Kepanasan.

“Haaa...haaaaa......” teman-teman sekelas ikut tertawa.

Bagiku lelucon itu seperti dipaksakan. Inilah korban diskriminasi prodi. Sungguh malang. Kemana keluarnya biaya kuliah yang kami keluarkan tiap semesternya? Apa masuk ke kocek orang tak bertanggung jawab?. Atau kocek-kocek lainya dengan alasan untuk menambah buku perpustakaan dan perbaikan fakultas. Realnya tak ada. Buku kuliah tetap tak berubah jumlahnya malah berkurang. Belum lagi yang tak layak pakai atau tidak dikembalikan. Sedangkan untuk perbaikan fakultas, apanya yang harus diperbaiki. Toh bangunan fakultas tetap masih kinclong tidak bobrok Atau...aku bingung sendiri. Percuma saja berdemontrasi dan berkoar-koar. Tetap tidak berubah. Gampang saja membuat mahasiswa tidak protes, berikan saja mahasiswa yang suka berkoar-koar dengan beasiswa. Beasiswa yang tak perlu memakai syarat apapun, kecuali tutup mulut. Akhirnya mereka diam menikmati uang yang tak seberapa itu. Tak lagi menyuarakan nasib teman-teman tertindas. Mahasiwa yang telah hilang nuraninya karena uang.
Aku mempercepat langkah, sesegera mungkin melaksanakan shalat dhuhur.Darah mengalir dari tubuh menuju kepalaku. Terasa dipijat dan aku merasakan kepenatan tadi perlahan hilang. Tak terasa butir-butir air mata membasahi sajadah mushola. Aku sesenggukan pelan mengeluarkan segala keresahan di hati. Kembali bayang-bayang ibu dan adik di kampung halaman, kuliah dan...perasaanku terhadap Tian yang belum hilang berkelebat cepat. Semuanya seperti scine film yang berjalan.
Trit...trit...Hp ku berbunyi tiba-tiba. Tapi tak ku gubris, aku masih ingin menikmati waktu ternikmatku saat ini. Trit...trit...trit... kembali hpku berbunyi. Akhirnya aku menyerah juga. Mungkin telpon penting untukku. Sebuah nama tercantum disana, Nera.
“Ya Assalamualaikum...ada pa Ner?”

“Wa’alaikum salam...Sha jadwal praktikum dimajukan oleh dosen, jadi 10 menit lagi kita masuk praktikum. Risha ada dimana?”

“Ya nanti aku menyusul..sekarang aku masih di mushola. Terima kasih ya Ner”.

“ Sama-sama Sha, Assalamualaikum..”.

“Wa’alaikumsalam...”.

Hp ku matikan dan aku bergegas menuju laboratorium. Setelah mempersiapkan diktat dan jas lab kulewati jalan setapak si depan mushola. Tiba-tiba...

“ Hai Sha...kok buru-buru? “

Aku berhenti dan mencari sumber suara yang memanggilku. Tidak ada seorang pun di samping kanan dan kiriku. Lantas siapa yang memanggilku?.

“ Mencari apa?”.

Degh aku terkejut. Sesosok tubuh muncul di belakangku. Sosok yang menghantuiku selama ini. Yach siapa lagi kalau bukan Tian.

“Mmm...oh Tian? kirain siapa?. Iya nih aku mau ke lab dulu, ada praktikum. Kamu..?”. aku menunduk, tak berani menatap wajahnya.

“ Sama...aku juga mau praktikum. Nih bawaan sampai banyak kayak gini”.

Aku melirik diktat dan laporan di tangannya. Bawaannya yang kulihat tadi pagi. Tapi hatiku pun gusar melihat arloji yang terus berjalan. Tinggal 5 menit lagi praktikum. Duh gawat ni. Telat lima menit bisa-bisa tidak dikeluarkan oleh asisten lab. Di lain sisi hatiku bersorak girang, kapan lagi mendapatkan moment seperti ini. Jarang-jarang aku bisa berbicara dengannya, kecuali di saat kegiatan organisasi. Entah pakah ia tahu kalau wajahku terasa memanas dan bersemu merah. Di sisi lainya aku tidak boleh melakukan ini. Tidak boleh hanya berdua saja. Aku harus bisa mengatasinya.

“Maaf Tian aku buru-buru. Paraktikumnya sebentar lagi. Asallamualaikum...”. aku berlalu pergi.

***
Cuap-cupaku:
Waktu itu perasaanku tak menentu antara senang dan panik. Bagaimana tidak gaya aksi dan reaksi kami berdua lumayan kuat. Untungnya aku tidak mengeluarkan semua atom dan molekul kegembiraan padanya. Kalau tidak...Tidak tahu apa yang akan terjadi. Senang karena aku hanya bisa berkomunikasi dengan Tian sewaktu kegiatan organisasi dan pergantian mata kuliah. Itu pun kalau kuliahnya di lokal yang sama. Panik karena asisten praktikum waktu itu lumayan killer.

***
Langit tiba-tiba berubah menjadi gelap. Awan tak seputih kapas lagi namun berubah menjadi kelabu. Entah berapa kubik air yang akan ditumpahkannya ke bumi. Angin bertiup kencang siap menerbangkan apa yang ada. Daun-daun akasia berterbangan dan memenuhi halaman fakultas. Fakultas pun sepi. Tak ada kegiatan perkuliahan. Sore itu jadwal praktikumku menjadi molor. Gara-gara aku salah melakukan percobaan bersama teman satu kelompokku. Rangkaian listrik yang seharusnya terpasang pada ground, malah terpasang pada DC. Hal ini mengakibatkan perhitungan kami mejadi salah. Tak ayal lagi asisten menginginkan percobaan kami diulang. Otomatis jadwal pulang pun bertambah lama. Sementara teman satu kelompokku sudah pulang sedari tadi. Aku menggumam kecil melihat cuaca yang tak bersahabat berharap hujan tak turun. Bagaimana tidak, aku yang sehari-hari mengandalkan kakiku pergi dan pulang dari fakultas. Sebenarnya ibu bisa saja mengirimkan motor untuk transportasiku tapi ku tolak. Malu rasanya jika belum “menjadi apa-apa” meminta fasilitas, sedangkan aku belum bisa membanggakan dan memberikan hasil jerih payah ku kepada ibu.. Sementara aku masih sanggup berjalan kaki ke fakultas. Yach...hitung-hitung olahraga. Lagi pula jarak tempat kost ke fakultas tidak terlalu jauh. Entah kenapa perasaanku mejadi tidak enak di tambah lagi suasana fakultas yang tidak mendukung. Terbesit pokiran negatif pada otakku. Seberani-beraninya aku di sebagai wanita aku tetap merasa takut. Bukan takut pada makhluk tak kasat mata. Tapi pada yang kasat mata.
Syap...djerrr...duaaarrr...kilat menyambar dan guntur menggelegar. Tumpahlah air dari langit. Hujan. Aku beristigfar karena terkejut.
“ Ya Allah...lindungilah hamba....”. kataku sambil meringkuk di selasar fakultas. Aku berharap ada teman wanitaku yang masih tertinggal di fakultas. Setidaknya aku masih mempunyai teman untuk menemaniku. Tapi tampaknya harapanku sia-sia. Tak ada seorang pun yang terlihat. Disaat suasana hening, sayup-sayup kudengar langkah kaki dan pintu kelas berderit. Sesekali terdengar pelan lalu keras kembali. Suaranya berasal dari ruangan di sebelahku. Aku tidak bergeming. Kurapatkan tas ke badanku dan meringkuk didinding. Badanku menggigil kedinginan.
Kembali ku dengar suara, tapi kali ini bukan suara pintu melainkan suara langkah kaki. Mendekat dan semakin mendekat ke arahku. Satu pikiranku waktu itu. Jangan-jangan ada orang. Tapi bukannya dari tadi sepi. Lantas siapa orang di belakangku ini?. Jantungku berdegup cepat dan adrenalin terpacu. Terbayang orang jahat di pikiranku seperti di film-film. Aku masih ingat perkataan di salah satu acara televisi. Kejahatan terjadi bukan karena hanya ada niat pelakunya tetapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah...waspadalah..Tidak ada cara lain lagi. Langkah itu tinggal beberapa jengkal di belakangku. Mau tidak mau aku lari dengan cepat.
Nafasku memburu, kecepatan bertambah untuk lari. Aku tidak perduli hujan deras membasahiku. Tempat aman adalah tujuanku dan bangunan di sebelah menjadi pilihan. Hups aku berhenti tepat disebuah ruangan.Sunyi.
“Alhamdulillah...” aku menyandarkan diri ditembok fakultas, mengatur nafas supaya kembali normal. Aku menatap sekelilingku seraya membetulkan jilbabku yang basah. Mmm...bangunan ini lebih terang daripada bangunan tadi. Cahaya lampu 100 Watt pada selasar membuatku merasanya nyaman. Paling tidak tempat yang terang dapat membuatku sedikit lebih aman.
Tapi itu tak berangsur lama. Kembali derap langkah mendekatiku. Persisnya di sampingku. Seketika degup jantungku berpacu kembali. Langkah itu berhenti dan kulirik sepasang sepatu berdiam disana. Aku gemetaran.
“ Assalamualaikum...” sebuah suara laki-laki menyapaku dengan lembut. Tapi aku tidak bergeming, aku masih takut.
“Assalamualaikum...” laki-laki itu kembali meyapaku.
“Wa..wa’alaikumsalam...” lirihku. Aku memberanikan diri menatap laki-laki itu.
“ Rhey...” kagetku.
Rhey tersenyum. Ia mengulurkan tangannya, mengajakku untuk berdiri. Tapi ku tolak dengan lembut. Aku bisa sendiri kataku. Sekilas kulihat keheranan di wajahnya. Ia pun menepis tangan yang diulurkannya. Aku bangkit dan meraih tasku yang terjatuh.
“ Kenapa kamu ada disini Rhey? bukannya kamu kuliah?”.
“ Memangnya tidak boleh kalau aku kesini?, aku kan sudah lama tidak bertemu kamu. Oh ya kamu kok belum pulang, sendirian lagi. Bahaya loh Sha”
“ Oh..boleh kok. Ya aku juga sudah lama tidak bertemu kamu. Aku sebenarnya sudah mau pulang tapi hujan masih lebat. Kupikir sebentar lagi hujan reda, tidak tahunya tambah lebat”
“ Kalau begitu kamu pulang denganku saja ya?”. Rhey bersiap-siap beranjak, tapi aku buru-buru mencegahnya. Kembali ku temukan keheranan di wajahnya.
“ Maaf Rhey, aku pulang dengan temanku saja. Kalau boleh aku minta tolong untuk pinjam handphone. Pulsa hp ku habis.”
Rhey menyilangkan tanganya didada. Berdiri dengan tak bereaksi. Ia menatapku dengan tajam. Aku menjadi jengah dengan tatapanya yang menyelidik itu. Mata yang mencari tahu akan sesuatu. Aku megalihkan pandanganku ke arah mushola didepan kami.
“ Apa yang terjadi padamu Sha?, apa kamu tidak percaya padaku kalau aku bisa mengantarmu dengan selamat ke kost-anmu?. Kenapa?...”
Aku diam. Sungguh sulit jika kukatakan padanya tentang keadaanku yang sekarang. Pikiranku masih kacau. Aku mau pulang sekarang. Aku tidak mau hanya berdua saja denganya. Aku bukan yang Risha yang dulu Rhey...
“ Tolong pinjamkan aku hp Rhey?”
“ Sha...”
“ Tolong Rhey!... aku ingin pulang sekarang”
Ku sadari Rhey melengos kesal. Tapi tetap saja ia memberikan hpny padaku. Aku mnegetik nomor hp Nera di hpnya.
“ Lain kali kamu harus memberiku alasan atas semua ini. Apa kamu tidak merasa Sha, aku bela-belain kemari untuk bertemu kamu. Tapi kamu malah lari tampa melihatku. Aku mencarimu Sha karena aku ka...”
Nera mengangakat hpnya di seberang sana.
“ Hallo...Assalamualaikum... Ner kamu bisa jemput aku di kampus tidak? Aku terjebak hujan”
“ Kalau begitu aku tunggu ya...Wassalamualaikum...”
Klik. Hp ku matikan. Aku tersenyum, tapi senyum kelegaanku malah mermbuat Rhey kian kesal. Ia mengerecutkan bibirnya. Aku meneyerahkan hp pada Rhey. Dengan paksa ia mengambilnya. Aku heran.
“ Kamu kenpa Rhey, kok tiba-tiba berubah begitu? Kamu marah karena aku pinjam hpmu?
“ Kamu menyebalkan Sha” Rhey beranjak pergi meninggalkanku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Apa salahku padanya.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberi komentar untuk blog ini: