Jerawat
Jomblo
Oleh:
Rheysha Itsuki
Pukul delapan malam @Kost-anku. Film favorit sedang diputar. Perhatianku sedang terbagi dua, tv seconds 14 inc (hasil patungan kami
bertiga) dan cermin.
“Lagi ngapain bang?” tiba-tiba
Pepeng duduk disebelahku seraya menekan tombol volume remote tv. Dia teman sekamarku.
Sekarang ia naik kelas XI SMA. Nama aslinya sih Frangky, tapi kami lebih suka
memanggilnya Pepeng. Sementara aku dan Ozy, teman sebangkuku, sudah kelas XII
SMA. Kami bertiga nge-kost di tempat
yang sama.
“Lagi makan nih. Huh,
sudah tahu abang lagi mencet jerawat, masih nanya aja.”
“Hehehe...oooh..jerawat
rupanya, hobby baru nih?Aku bantuin ya?” Ia melemparkan remote ke kursi dan
mulai menghampiriku. Meneliti wajahku yang sudah kemerahan. Terlihat sekali
binar di matanya. Kalau urusan mencet jerawat ia memang sangat antusias.
“Gak...gak, sana gih!
Abang gak mau kayak kejadian kemarin. Bukannya malah bantuin ngilangin jerawat,
eh malah jerawatnya makin meradang, makin tambah banyak.”
“Tapi gemes lihat jerawat
abang, sudah banyak yang masak. Ibaratnya mangga yang siap panen.”
“Mangga...mangga...kalau
mau panen mangga, sana aja ke rumah Rasty, pujaan hatimu,” Aku mulai menyeka
salah satu jerawat dengan handuk yang dibasahi air hangat. Kesal juga lama-lama
dibuatnya. Kesal dengan sikap Pepeng dan lebih kesal dengan jerawat yang gak
hilang-hilang. Ampun deh....
“Yee..padahal kalau aku
ke rumahnya, abang juga mau ikut kan? Kan ada kak...hmmm....siapa nama kakaknya
Rasty bang?” Ia pura-pura mikir tapi tangannya jahil menekan jerawatku.
“AAAWWW...SAKIT
TAHU!!!!”
“Hehehe....aku kan cuma
nyicip dikit aja.”
Rasain...masa’
cuma jerawat aja jadi pelit. Huh...
“Gak tahu...tanya aja
ma orangnya,” Aku mengusap jerawat yang dipencetnya. Rasanya minta
ampun...sakit banget. Nyut-nyutan, mana tu jerawat paling montok. Aku
menyikutnya pelan, berharap ia menjauh.
“Hmmm...,” Ia
senyum-senyum sendiri, sesekali meliriku.
Pura-pura
mikir kamu Peng. Aku harus nyiapin jurus nih. Siapa tahu ia mengincar jerawat
yang lain.
“Kalau mau aneh jangan
bawa-bawa abang ya, mana pakai acara senyum-senyum segala lagi. Sudah gih sana!
Gangguin abang aja kamu nih,”
“Hehehe...oke-oke. Tapi
aku tahu deh kenapa jerawat abang makin banyak. Pasti karena sering-sering
mikirin kakaknya Rasty kan? Ngaku deh...bukannya orang jatuh cinta tu identik
dengan jerawat,” katanya sok tahu, pura-pura mengacung-acungkan telunjuknya.
Untung aku sigap, kalau gak? bakalan ada jerawat lain yang jadi korban.
Yeee...nggak
kena
“Sok tahu kamu? Siapa juga yang mikirin Risha?”
Aku pura-pura sewot. Padahal saat nama itu ku sebut, perlahan-lahan dadaku
berdesir indah. Seperti film bollywood yang ku tonton. Loh, kok pemeran
utamanya berubah. Adegan lagi di taman bunga. Tiba-tiba aku jadi Shah Rukh Khan
dan Risha jadi Kajol-nya (lebay banget). Aih...aih...mikirin dalam khayalan aja
sudah senang, apalgi beneran. Aku mesem-mesem sendiri. Lupa dengan jerawat yang
sedang nyut-nyutan.
Ssst...tahu gak aku aja
gak pernah bertemu secara langsung dengan Risha sebelumnya, apalagi bicara face to face. Aku hanya melihat fotonya dirumahnya
ketika aku bersama Frangky bertamu. Selebihnya hanya melalui hp karena Risha
tidak satu sekolah dengan kami. Hanya dua minggu sekali baru pulang ke rumah
karena ia tinggal di asrama. Dia seangkatan denganku. Mungkin ini tandanya
cinta pada pandangan pertama. Tapi perasaan ini kucoba tutupi. Yang tahu hanya
Pepeng dan Ozy.
“Tuh buktinya! katanya
gak tahu namanya siapa. Iiihhh...mana pakai acara senyum-senyum segala.
Ckckckck...ternyata benar. Cinta kadang membuat orang bisa lupa diri,
senyum-senyum sendiri bahkan nyaris gila, Hahahaha...”
Buyar deh adegan taman
bunganya. Benar juga kata Pepeng. Tapi apa benar aku jatuh cinta...ups...salah
ding bangun cinta ma Risha. Agak kurang sreg aja dengar kata jatuh sebelum kata
cinta. Kayaknya sakit plus menderita benar karena cinta. Hiks...hiks...
“Pokoknya selama
jerawat abang belum hilang dan wajah belum kinclong. Abang gak akan cari cewek. Abang akan menjadi
jomblo.”
“Serius bang???” baru
kali ini aku melihat ia begitu menaggapi perkataanku.
“Duariusss...seriuslah
Peng.”
“Bahkan sampai mencoba
mengambil hati Kak Risha abangpun gak mau?”
Lah,
kok dadaku jadi sakit begini ya. Apa iya aku akan jomblo terus? Iya kalau
jerawatnya hilang,nah, kalau gak? Duh..dilema jadinya. Tapi mau narik perkataan
lagi, sudah terlanjur. Ya sudahlah...lihat saja nanti.
***
“Kalau saja di sekolah
ada lomba siapa yang wajahnya paling banyak jerawat? Pasti pemenangnya aku Zy?
Aku bosan dibilang jomblo gara-gara jerawat,” kataku waktu itu sambil memakan
mie ayam. Ini curhat pertama ku pada Ozy setelah uring-uringan diledekin Rio
and the Gank.
“Kamu yakin? Wajahmu
kan gak parah-parah amat kok,” ia menghentikan suapannya seraya memeriksa
wajahku.
“Kamu gak lihat
jerawatku besar-besar nih, mirip bisul,” aku menunjuk jerawat terbesarku.
“Jangan gitu dunk Di. Belum tentu gak ada cewek yang
gak suka sama kamu. Kamu kan orangnya pintar dan baik hati. Aku yakin pasti ada
kok.”
“Tapi...”
“Kalau kamu gak percaya
coba cara ini untuk membuktikannya. Jadi, belum tentu apa yang kamu pikirkan
itu benar.”
“Maksud kamu?”
Ozy menghentikan
suapannya. Meminum es teh dan mulai mendekat ke arahku dan membisikan sesuatu.
“Bagaimana? Baguskan?”
“Hmmm....oke, aku coba
deh.”
Sebenarnya aku gak mau
ambil pusing sih, tapi setelah mengikuti saran Ozy, pikiranku mulai berubah.
Gak ada salahnya kan mencoba misi ini. Dia bilang jangan minder dan pesimis
dulu dengan wajah berjerawat. Selama dua bulan dia nyaranin mencari
teman-teman, kakak dan adik tingkat yang wajahnya banyak jerawat tapi harus
diam-diam. Nah, kalau dalam waktu dua bulan ada yang lebih parah dari wajahku,
berarti aku gak masuk nominasi wajah terbanyak jerawatnya. Aku tersenyum-senyum
sendiri memikirkan ide kurang kerjaan ini.
Namun apa daya lewat
dua bulan menjadi detektif pencari jerawat ke setiap kelas, aku gagal. Jarang
sekali aku menemukan wajah mereka separahku. Ada sih yang waktu itu satu minggu
jerawatnya banyak, aku sempat bersyukur merasa masih ada yang lebih parah
dariku. Eh, setelah dua minggu wajahnya malah lebih bersih, jerawatnya juga
hilang. Setelah diinterview ternyata
dia meminum obat jerawat dan gak tanggung-tanggung harganya ratusan ribu. Weleh...weleh..mana
cukup uangku untuk membelinya, uang bulanan saja pas-pasan belum lagi aku anti
minum obat. Misi pun tak kulanjutkan. Nambah sakit hati plus frustasi. Belum
lagi jerawat makin tambah banyak. Aku jadi malas mau mengurus wajahku. Sudah
terlanjur kecewa berat. Sempat kutemukan kekecewaan di wajah Ozy ketika misi
ini gagal. Tapi ia berusaha menyabarkanku. Masih ada cara lain, katanya.
***
Libur telah tiba, meski
cuma satu hari. Tapi senangnya bukan kepalang. I’m Free today. Teman-teman di kost-an
masih belum kelihatan akan keluar. Libur seperti ini biasanya mereka isi dengan
mencuci baju, mencuci motor, bahkan ada yang masih tidur. Padahal aku mau
mengajak mereka pergi. Tiba-tiba muncul sosok tak asing bin jahil. Tergesa-gesa
ia menghampiriku seraya menunjukan hpnya.
“Bang kita ke rumah
Rasty yuk sekarang?”
“Mau ngapain Peng?
Abang mau bersihin motor nih,” aku menyemprotkan air ke ban. Lumayan kotor
setelah ku pakai 6 hari ke sekolah. Dengan kondisi tanah yang mirip saus
kacang. Sekarang kan lagi musim hujan.
“Kak Risha ada sms. Dia
sudah di rumah. Kemarin datangnya. Ayo dunk bang! sekalian aku mau ketemu Rasty.”
“Kamu aja deh ya yang
pergi. Abang belum siap, mana jerawat abang makin banyak” Aku mematut wajahku
di kaca spion. Menghitung berapa banyak jerawatku yang bertengger. Aku harap
mereka segera menyingkir dan musnah. Masih aja gak pe de.
Hehehe....abang
kira aku gak bisa bawa abang kesana? Jangan panggil aku Frangky kalau aku gak
punya seribu cara. Ho...ho...ho....
***
Semenjak pulang dari
rumah Risha entah mengapa perasaan ini bergulir indah. Menembus batas-batas
kewarasanku. Sampai membuatku bermimpi. Kami memang jarang berbicara panjang
lebar, meskipun begitu kecanggihan teknologi ku manfaatkan. Sms pun dengan
lancarnya melesat antara hpku dan hp Risha. Risha memang tipe yang pendiam
ketika kami bertemu. Kalau tertawa tak pernah ia menampakan lebar-lebar
giginya. Hanya tersenyum, didiringi dua buah lesung pipinya. Sikapnya sopan,
tak pernah ku temukan kegenitan padanya, berbeda dengan gadis-gadis lain yang
pernah kutemui. Memang ia gak cantik-cantik amat. Tapi ia punya pesona
tersendiri. Itu menurutku. Ia jarang menatapku, pandangannya gak jauh-jauh dari
lantai atau melihat ke arah yang lain.
Entah kenapa? Atau
mungkin ia takut menatap wajahku yang seperti bulan purnama, penuh kawah.
Atau...entahlah aku takut terlalu berandai-andai. Tapi ketika dia sms, aku
sering tertawa geli. Ia humoris. Dan ini yang membuatku semakin penasaran
dengan sosoknya yang lumayan misterius.
“Zy, malam ini kita ke
rumah kak Rasty yuk? tadi siang kakak bilang ada bikin kue dan kita disuruh
nyicipinnya,”
Pepeng tiba-tiba
memecah kebisuan diantara kami. Padahal ibu kost belum selesai bicara mengenai
dapur yang berantakan. Ozy membisu, sesekali ia melirik ibu kost kami yang
masih menatap garang .
Peng..peng...kamu
cari gara-gara aja...
Aku dan teman-teman sedang
tak berani bersuara. Apalagi sebelum membicarakan masalah dapur, kami sempat dimarahi habis-habisan oleh ibu
kost. Beberapa orang diantara kami masih menunggak membayar sewa kost, belum
lagi kost yang mulai kotor. Imbasnya tentunya kesemua anak kost. Kalau sudah
begini, anak lantai satu dan dua saling menyalahkan. Ujung-ujungnya hampir
berkelahi. Pepeng cepat-cepat menutup mulutnya, apalagi setelah melihat mata
ibu kost kami yang melotot ke arahnya.
“Ini ni..anak jaman
sekarang. Orang tua ngasi nasehat
bukannya didengerin malah ngobrol sendiri?”
“Maaf Bu,” Pepeng
tertunduk.
***
“Sebenarnya ada sesuatu
yang mau Risha berikan untuk abang?”
“Kayak kejutan aja nih
Sha, kamu mau ngasi apa?”
“Sha, ”panggilan sayangku
untuk Risha. Padahal belum pernah sekalipun aku nembak dia. Ngaku-ngaku aja.
Toh, dianya aja gak keberatan dengan panggilan itu. Ia tertunduk malu. Sebuah
kotak kecil dengan bungkus kado berwarna orange,
warna kesukaanku. Ya Allah mimpi apa aku semalam. Di hari lahirku ternyata ada
juga yang ingat plus ngasi kado. Alhamdulillah.
“Apa ini? Gak usah
repot-repot Sha, ” aku pura-pura menggaruk jerawatku. Padahal di dalam hati
menebak.benda apakah gerangan di dalamnya. Dari bungkusnya kayaknya nih hadiah
pasti gede.
“Abang buka aja deh..,”
wajah putihnya bersemu merah. Ia masih tertunduk.
“Hmmm...baiklah, abang
mau lihat kejutan apa yang Sha berikan,” tanganku gak sabar membuka kado itu. Step pertama masih lancar. Tapi step selanjutnya? Ampun dah nih kado apa
kado sih? Banyak banget kotak di dalamnya. Kotak di dalam kotak. Nafasku
semakin memburu, padahal hampir ngos-ngosan juga membuka nih kotak.
Hmmm...seperti kataku dulu, wanita penuh misteri dan membuat penasaran. Saking
penasarnnya aku gak melihat ekspresi dia yang aneh bin ngeri melihatku
merobek-robek bungkusan kado tanpa ampun.
Nih
orang girang apa kesambet ya? Sampai segitunya. Padahal kalau ia tahu
hadiahnya, bakalan marah gak ya sama aku.
Dan akhirnya....
“Apaan nih?” aku
mengamati benda kecil ditanganku. Bentuknya kecil seperti botol salep
transparan. Aku membuka tutupnya. Isinya berwarna putih.
Week...hufh....kaya’
bau obat nih barang.
“Aa...aa..Abang gak
suka ya hadiahnya? Sudah terbukti manjur bang, dulu Risha juga pakai kok”
barulah ia menatapku, wajahnya sendu. Mungkin karena melihat ekspresi ku yang
berlebihan tadi.
“Ehmmm....suka kok,
abang suka banget. Tapi kalau abang boleh tahu, nih apaan ya? Kok kayak bau
obat sih Sha?”
“Memang itu obat
bang...”
“O..obat, obat apa?.
Apa obat untuk memutihkan badan atau obat untuk...” asal aja aku bertanya
sambil meneliti botolnya.
Mudah-mudahan
dia gak bilang kalau ini obat untuk itu ya Allah...aku mohon jangan...
Risha terdiam. Tanganya
tak henti meremas ujung bajunya. Aku pun semakin penasaran.
Waduh...kayaknya
bener nih obat untuk itu. Tapi gak ding, aku yakin pasti gak...tapi kalau
ya?...
“Maaf bang, tapi abang
gak marah kan kalau Sha bilang itu obat jerawat.
Prakkkkk....pikiranku
retak. Tuh kan benar...gak bisa nih.
Dan egonku pun
berbicara.
“Ngapain kamu ngasi
abang obat beginian. Apa kamu pikir wajah abang jelek banget karena jerawat.
Oh, pantesan kamu kalau lihat abang gak pernah lama-lama, ya kan?”
Hiii....ternyata
kalau marah galak juga nih abang. Padahal orangnya manis. Ups....duh...mau
ngomong apa nih? Dia kok bawa-bawa jelek segala sih.
“Nih ambil! Abang gak
butuh ini. Terima kasih atas kadonya,” aku segera pergi.
Gak
nyangka bakalan kayak gini. Risha yang ku sayang ternyata...
“Abang tunggu bang...!”
Aku
gak peduli...biarin...teriak aja sampai kering.
“Bang...tunggu dulu
bang...Risha mau jelasin semuanya,”
Hmm...Tapi,
kasihan juga nih anak. Apa perlu aku berhenti dan mendengarkannya? Bodo
amat..harga diriku sudah pergi nih. Gak
bisa...berhenti-gak-berhenti-gak-berhenti.. Ah, kasihan dia.
Wajah Risha memerah,
nafasnya tersengal. Setengah berlari mengejarku.
“Maafin Sha bang, Sha
gak tahu kalau jadinya begini. Tapi benar bang Sha gak ada maksud untuk
nyakitin hati abang,” aku masih diam.
“Risha ngelakuin ini
karena...ehmm...karena Sha...”
Penasaran
juga nih.
“Karena apa?’
“Karena...ehmm...karena
Sha gak mau bang Dion jadi jomblo selama gak berhasil ngilangin jerawat.
Deg....akhirnya...
Di belakang pohon aku
melihat Pepeng dan Ozy cekikikan mengintip kami. Pasti ulah mereka pikirku.
Siapa lagi orang yang membocorkan rahasia kalau aku akan jadi jomblo sebelum jerawat
gak hilang. Gak apa-apalah aku malah bersyukur mempunyai teman seperti mereka.
***
Satu bulan berlalu.
Wajahku sudah mulai bersih dari jerawat. Manjur juga sarannya Risha. Karena
kebaikan mereka waktu itu, sore ini aku
mentraktir mereka mie ayam.
“Hmm...Sha, boleh abang
tahu kenapa Sha memberikan abang obat itu sebulan lalu”.
Kulihat kepanikan
diwajahnya. Ia menggigit bibir.
“K..kaa..Kan Sha
bilang, Sha gak mau abang jadi jomblo sebelum jerawatnya hilang. Abang kan orangnya
baik dan pintar,” Ia buru-buru meminum es jeruk sepertinya menutupi
kegugupannya.
“Oh, hanya itu?” pancingku.
Ia mengangguk cepat. Di
depan kami Ozy dan Pepeng dengan lahap menghabiskan mie ayam. Sepertinya tak
berminat dengan pembicaraan kami.
Mereka
sahabat terbaikku.
Semakin hari aku merasa
semakin akrab saja dengan Risha? Apakah perasaan ini sama dengan yang ia
rasakan? Setelah dekat dengan Risha aku banyak mengambil pelajaran. Ia sering
bercerita dulunya wajahnya seperti diriku, bahkan lebih parah dan sering diejek
teman-temannya. Tapi ia selalu optimis mencari solusi. Karena gak ada orang
yang gak bisa berubah, kecuali karena kemalasan. Risha mencari tahu dengan
konsultasi ke dokter kulit. Meski diberikan obat, dia juga tidak lupa
mengkonsumsi makanan sehat, rajin membersihkan wajah dan berolahraga. Jika gak
ada perubahan berarti itu anugerah dan patut disyukuri. Wajah juga gak menjamin
kebaikan hati seseorang. Ia dapat berubah seiring dengan perjalanan waktu,
tetapi tidak dengan hati. Jadi, kalau masih ada yang minder karena jerawat di
wajah dan takut menjadi jomblo, ya jangan sedih dulu, katanya. Justru harus
dibuktikan bahwa jerawat dan jomblo gak menghalangi kita berprestasi. To be
High Quality Jomblo.
***
Bumi Uncak
Kapuas, 08 September 2011
Pukul
10:42 WIB